Lewati
rintangan untuk aku anakmu
Ibuku
sayang masih terus berjalan
Walau
tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti
udara... kasih yang engkau berikan
Tak
mampu ku membalas... Ibu... Ibu
Ingin
kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai
aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu
doa-doa baluri seluruh tubuhku
Dengan
apa membalas... Ibu... Ibu
Lagu berjudul “Ibu”
karya sang legendaris musik Indonesia Iwan Fals memang sangat menyentuh bagi
siapa saja yang mendengarnya. Tak luput pula bagi Muhammad Gadi Widjoyo seorang
sarjana hukum yang sangat menyayangi seorang Ibunya. Yang ada dalam pikirannya
adalah sebuah pertanyaan, apakah kamu pernah dan merasakan kasih sayang
Ibumu?
“Ingin
kudekat dan menangis di pangkuanmu. Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu”
lirik
ini baginya sangat mengingatkan sebuah klise kehidupan sesosok Ibu dan
menyiratkan sebuah keinginan seorang anak kepada malaikat kecil itu. Tak terasa
mendengar dan merasakan lirik demi lirik lagu itu, berbutir-butir air mengalir
dan membasahi pipi Gadi. Lamunan demi lamunan ia lalui dengan tangisan,
mengingatkan kasih sayang seorang Ibu yang menuntunnya menjadi seorang sarjana
seperti sekarang, tetapi bukan tangisan yang dibutuhkan oleh seorang Ibunya
melainkan doa dari seorang anak saleh yang dapat menuntunnya untuk menempuh
jalan terindah yaitu di surga.
Hampir tidak mungkin
Gadi hanya seorang anak dari kalangan berekonomi rendah bisa menjadi Sarjana
Hukum apa lagi Ibunya hanya seorang buruh cuci yang gajinya hampir tidak
mencukupi kehidupannya. Itu semua berkat doa seorang Ibu untuk anaknya, selain
itu juga karena kegigihan dan usaha yang di lakukan oleh Gadi. Karena rasa
sayang begitu besar yang dimiliki oleh Gandi maka apa yang selama ini dia
lakukan hanya semata-mata untuk membahagiakan Ibunya.
Gadi sangat bersyukur
memiliki Ibu berhati baja, berjiwa mulia. Mengajarkannya banyak hal untuk
kekuatan hidupnya demi meraih masa depan. Suka duka itu semua bagian dari
hidup. Kekuatan Ibunya menghadapi hidup atas nama cinta untuk anaknya. Sang
anginpun hanya datang untuk menghembusnya, diapun pergi setelah sang daun harus
gugur ke bumi rapuh terinjak.
Dia tidak lagi iri
kepada teman-temannya yang memiliki keluarga sempurna, punya orang tua kandung
yang lengkap dan hidup serba kecukupan. Ternyata, memiliki keluarga lengkap
tidak menjamin mereka bisa berhasil hidupnya.
Banyak contoh di
sekelilingnya, teman-teman sekolahnya yang naik turun mobil pribadi saat
sekolah, ternyata tidak mendapat cukup kasih sayang orang tuanya yang
jelas-jelas lengkap dan senantiasa bisa bersama mereka setiap saat. Banyak
kebahagiaan semu teman-temannya yang tidak tau apa arti kasih Ibu.
Sejak duduk di
pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, Gadi selalu menjadai sisiwa
terbaik di sekolahnya di bandingkan dengan temen-temannya. Berkali-kali ia
selalu mendapat sanjungan dari guru-guru di sekolah maupun dari teman-temannya.
Tidak sedikit pula beasiswa yang di dapatkannya, dengan adanya beasiswa inilah
ia dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain itu juga dapat
mengurangi beban hidup Ibunya yang tidak lagi memikirkan beban biaya.
Sejak duduk di bangku
kuliah, dia tidak lagi tinggal bersama Ibunya melainkan ia ikut tinggal dengan
temannya di kos dekat kampusnya. Mengingat jarak dari rumah menuju kampus
lumayan jauh. Semenjak ia menjadi mahasiswa di kampusnya ia jarang lagi pulang
karena banyak tugas yang harus cepat di selesaikan. Di kampus Gadi selalu ikut
menjadi aktifis muda di kampusnya.
Siang itu, Ibu Gadi
sangat merindukan anaknya yang telah menjadi seorang yang mendiri. Pada sore
harinya, sang Ibu mendatangi kos tanpa sepengetahuan Gadi. Tempat kos yang
cukup sederhana namun nyaman untuk di tinggali. Tak lupa ia menitipkan beberapa
bingkisan makanan kesukaan Gadi dan alat solat berupa sarung dan peci, selain
itu ia juga menyelipkan Al-Qur’an kecil agar mengingatkannya untuk tetap ingat
dan beribadah kepada Allah SWT. Saat teman kos Gadi keluar dari kamar, sang Ibu
menitipkan beberapa bingkisan itu melalui teman yang di lihat umurnya tidak
jauh dari Gadi.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...”
“Maaf nak, bisa tolong titipkan ini untuk Gadi?”
“Oh bisa bu, kalo boleh tau Ibu ini siapa yah?”
“Ibu hanya orang yang dititipkan ini untuk Gadi”
Ibunya terpaksa
berbohong, ia tidak ingin melihat orang lain melihatnya sebagai Ibu Gadi. Gadi adalah
aktifis muda yang berbakat memiliki segudang prestasi yang ia pikir tidak
pantas memiliki seorang Ibu yang hanya hidup sebagai seorang buruh cuci yang
berpenghasilan tidak menentu.
Tanpa berpikir
panjang dan tanpa melihat bagaimana perkembangan anaknya, sang Ibu bergegas
pergi meninggalkan kos itu, dan di dalam hatinya walaupun ia tidak dapat
bertemu dengan anaknya saat itu, sang Ibu selalu berdoa yang terbaik untuk
anaknya.
Sore itu awan mulai
gelap menyelimuti bumi, suara gemuruh petir mulai terdengar di sana sini. Satu
demi satu, dikit demi sedikit awan mulai mengeluarkan butiran air hasil proses
kondensasi di awan. Dengan terburu-buru sang Ibu memantapkan langkahnya untuk
bergegas pulang, dari belakang terdengar suara yang memanggil dirinya tetapi
dia tidak mempedulikannya.
“Buuuuu, Ibuuuuuu ..........”
Saat suara itu
semakin dekat, dan tiba-tiba memegang erat dan mencium tangan kanan sang Ibu,
ternyata itu adalah Gadi.
“Ibu kenapa gak ingin ketemu Gadi, tadi Gadi ada di dalam”
Dengan menatap dengan
senyuman sang ibu membelai anaknya yang terlihat semakin besar dan dewasa.
“Ibu tidak ingin teman-temanmu melihat aku ini Ibumu nak”
“Kenapa Ibu berfikir seperti itu? Gadi tidak pernah malu memiliki Ibu seorang
buru cuci, bagi Gadi Ibu adalah orang yang paling Gadi hormati”
“Ibu berpesan kepada mu, jangan pernah tinggalkan ibadah kepada Gusti Allah,
sesuai dengan nama mu Gadi yang artinya Allah adalah penuntunku”
“Iya, Gadi janji Bu..”
Gadi tak menyangka
begitu besar cinta Ibunya kepada dirinya. Air mata pun mengalir bersama dengan
air-air hujan yang membasahi pipinya saat itu.
ððððð
Hari ini hari yang
paling membahagiakan bagi Gadi dan teman-temannya karena hari ini adalah hari
dimana ia akan diwisuda. Dengan Indeks Prestasi mencapai diatas 3,2 maka ia
semakin yakin dengan ini Gadi akan membahagiakan Ibunya.
Awalnya ia ingin
menuju kampus bersama Ibunya, karena sang Ibu tidak datang juga maka Gadi
datang ke acara wisuda hanya dengan teman satu kosnya.
Setelah acara wisuda
selesai ia langsung bergegas menuju rumah yang sangat sederhana, tempat dimana
Gadi pelepas masa-masa kecilnya dan merasakan indahnya kasih sayang sorang Ibu.
Saat ia memasuki ruangan sempit, terdengar suara lirih, lalu Gadi mendekat dan
sang Ibu berbisik.
“Hari ini kamu wisuda, anakku telah jadi sarjana, doa ibumu terkabul nak maturnuwun
Gusti..., Allahu Akbar..., Lailahaillah Muhammadarasulullah...”
“Ibuuuuuuu, Innalillahi wainnalillahi roji’un”
Sakit yang menahun
tak pernah dirasakannya, dia terus berjuang demi masa depan anaknya. Kini sakit
itu telah hilang bersama raga, dan telah meninggalkan beberapa kisah mengenai
nilai hidup dan perjuangan kepada anaknya. Tanpa rasa mengeluh ia lakukan
hanyalah untuk anaknya dan juga dia tidak pernah meratapi kemiskinan yang
dialaminya. Kemiskinan bukan untuk diratapi tetapi untuk di hadapi.
Ibu tidak pernah
menangis di depan kita, kalau pun ingin menangis dia selalu menahan air matanya
di depan kita, dia selalu menguatkan kita dengan kata-kata indah, tidak ada
seorang Ibu yang tidak sayang kepada anaknya, baginya anak adalah buah cintanya
kepada Allah SWT yang harus ia jaga dan lindungi di mana pun dan kapan pun.
Dalam hidupnya semua yang ia lakukan hanyalah untuk membahagiakan anaknya.
Seorang Ibu tidak
mengharapkan imbalan apa pun dari apa yang di berikannya selama ini, tugasnya
di dunia ini hanyalah memberi memberi dan memberi. Dari rahimnya lah ia
melahirkan sosok-sosok manusia yang hebat. Baginya anak adalah segalanya, anak
adalah separuh hidupnya, di saat sosoknya telah tiada doanya yang selalu
terlantun untuk anak-anaknya.
Tiadanya dirimu
menjadi semangat untuk ku untuk menjadi lebih baik, cinta dan kasih sayang mu
akan selalu menuntun hidup ku, selamat jalan Ibu, Kaulah malaikat kecil ku.
Terima kasih ibu, doa ku kan menuntunmu di surga.
*****
Penulis
: Maulana Eka Putra
0 komentar:
Posting Komentar