1. Profil abu bakar ash shiddiq
Abu
Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anha adalah seorang khalifah besar pengganti
Rasulullah, manusia paling mulia dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Beliau adalah Panglima besar yang berhasil menundukkan kekuatan dan
kecongkakan negara super power Romawi. Dialah Abdullah bin
‘Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai
yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.
Ibunya
menjelaskan, suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Abu
Bakar lalu menjulukinya ‘atiiqullah
minan nar, orang yang dibebaskan Allah dari api neraka. Ibunya
bernama Ummul Khair As-Sahmi binti Shakhr bin ‘Amir, wafat dalam keadaan
memeluk Islam.
Secara
fisik ia seorang yang berbadan kurus, berdahi menonjol, berpundak sempit,
berwajah cekung dan pinggang kecil.
Di
saat semua orang meragukan dan mendustakan apa yang Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sampaikan, dia seorang diri membenarkannya. Beliau rela
merobek habis robekan demi robekan bajunya untuk menyumbat setiap lubang yang
ada di dalam gua di malam hari karena takut binatang penyengat yang bersembunyi
di dalamnya keluar mengganggu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
orang-orang musyrik mengepung keduanya. Pagi harinya, Rasulullah menanyakan di
mana pakaiannya. Setelah tahu apa yang terjadi, Rasulullah mendoakannya menjadi
orang yang mempunyai derajat tinggi di jannah.
Beliau
memiliki beberapa anak dari perkawinan dengan Qutaibah dihasilkan Abdullah yang
ikut perang di Thaif dan Asma’, istri Az-Zubair. Qutaibah kemudian dicerai dan
wafat pada usia 100 tahun. Perkawinannya dengan Ummu Ruman melahirkan ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha (istri Rasulullah) dan Abdurrahman. Sebelum masuk Islam,
Abdurrahman masuk dalam barisan kaum musyrikin yang memerangi Rasulullah. Namun
dalam perang Badr ia baru masuk Islam.
Dari
istrinya yang lain yang bernama Asma’ binti ‘Umais melahirkan Muhammad dan dari
Habibah binti Kharijah bin Zaid melahirkan Ummu Kultsum Raadhiyallahu ‘Anha
yang dinikahi shahabat Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘Anhu.
Beliau
seorang khalifah yang adil, tidak bergaya hidup mewah dan rendah hati. Tak lama
setelah diangkat jadi khalifah ia berkata, bahwa ia bukanlah orang yang
terbaik, memerintah rakyatnya mengikuti syariat dan tidak mengadakan bid’ah.
Bila ia baik minta diikuti dan bila menyimpang ia minta diluruskan.
Abdullah
bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma mengabarkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu
sakit karena wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga
menyebabkan kematiannya. Ahli sejarah menulis Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu
wafat antara waktu Maghrib dan ‘Isya pada hari Rabu bulan Rabi’ul Awwal tahun
13 H, dalam usia 63 tahun. Wallahu a’lam.
2. Profil Abu Hurairah
Nama
lahir Abu Hurairah adalah Abdu Syams atau Hamba Matahari dan karena sejak kecil
memiliki kucing maka namanya terkenal menjadi Abu Hurairah atau Bapak Kucing
dan ketika masuk Islam Rosululloh SAW menamai beliau Abdurrahman atau Hamba
Allah Yang Maha Pengasih.
Abu
Hurairah memeluk agama Islam melalui Thufail bin Amr Ad Dausy pemimpin dari
sukunya yaitu Banu Daws dari Tihama. Ibunya Maymouna Bint Subaih tidak mau
masuk Islam sehingga Abu Hurairah mengadu kepada Rosululloh SAW bahwa beliau
tidak bosannya mengajak ibunya memeluk Islam, namun ibunya selalu menolak. Abu
Hurairah memohon doa kepada Rosululloh,"Tolong do'akan, ya Rosululloh,
semoga ibuku masuk Islam". Dan tak berapa lama Abu Hurairah kaget ketika
suatu hari ibunya mengatakan,"Asyhadu an laa ilaaha illallah wa
asyhadu
anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh". Abu Hurairah dikenal memiliki ingatan
yang tajam dan hal ini karena pernah didoakan oleh Rosulloh SAW sehingga beliau
banyak meriwayatkan hadits nabi SAW.
"Diceritakan
Abu Huraira: Aku berkata, 'Ya Rasul Allah, aku mendengar banyak cerita dari
anda tapi saya lupa semua" Rosulloh SAW berkata,'
bentangkan kain penutup Anda. "Saya menyebar lembar saya dan beliau pindah
kedua tangan seolah meraup sesuatu dan dikosongkan mereka dalam lembaran dan berkata,
"Bungkus." saya membungkusnya keseluruh tubuh saya, dan sejak itu
saya tidak pernah melupakan satu lembar hadist. "
Abu
Hurairah meninggal pada usia 78 tahun dan dikuburkan di Jannatul Baqi'
atau taman surga sebuah, pemakaman di Madina, Saudi Arabia sebelah tenggara
Masjid al-Nabawi.
3. Profil
Thalhah bin Ubaidillah
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin
Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai
tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa.
Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah
seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana saat itu satu orang
bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya hingga akhir
hidupnya ia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga
dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah
masuk Islam melalui anak pamannya, Abu Bakar Assiddiq ra.
Dengan disertai Abu Bakar Assiddiq,
Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah berhasil berjumpa dengan
Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq,
Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Riwayat hidup Thalhah merupakan
hembusan angin yang harum dalam rangkaian sejarah yang agung penuh keteladanan.
Thalhah adalah seorang lelaki yang
gagah berani, tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam
ujian lainnya. Ia orang yang kokoh dalam mempertahankan pendirian meskipun
ketika di jaman jahiliyah.
Thalhah WAFAT
Sewaktu terjadi pertempuran “Al Jamal”,
Thalhah bertemu dengan Ali ra. Ali memperingatkannya agar ia mundur ke barisan
paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke
Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalamm ia wafat.
Thalhah wafat pada usia 60 tahun dan
dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Rasulullah SAW pernah berkata pada para
sahabat ra. “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat
seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah.”
Hal ini juga dikatakan Allah dalam
firman-Nya: “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur,
dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak
merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab : 23)
Nasib agama kita akan membaik bila kita
menempuhnya dengan cara yang ditempuh para pendahulu kita, sebagaimana yang
Allah firmankan: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qoof : 37)
4. Profil Zubair bin Awwam
Ketika Zubair
bin Awwam sedang berada di rumahnya di Makkah, tiba-tiba dia mendengar
suara teriakan yang berbunyi, “Muhammad bin ‘Abdullah telah
terbunuh!” Mendengar itu, Zubair pun keluar dalam keadaan
telanjang dan tidak mengenakan sesuatu pun yang menutupi tubuhnya. Dia keluar
sambil memegang pedangnya guna mencari orang yang telah membunuh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia ingin
membunuh orang tersebut.
Namun betapa bahagia hatinya tatkala dia menemukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dalam keadaan
hidup dan tidak terluka sedikitpun Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun merasa heran dengan kondisi Zubair yang
telanjang itu, maka beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai
Zubair?”
Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
Sembari tersenyum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Lalu apa yang akan kamu perbuat, wahai Zubair ?”
Zubair menjawab, “Aku akan membunuh semua
penduduk Makkah (maksudnya orang-orang kafir ).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
merasa gembira mendengar hal itu, lalu beliau berdoa agar Zubair mendapatkan
kebaikan dan pedangnya mendapatkan kemenangan.
Pedang Zubair ini merupakan pedang yang pertama kali dihunuskan
dalam rangka berjuang di jalan Allah. Sementara tentara Islam pertama yang
berjuang di jalan Allah adalah Zubair bin Awwam bin
Khuwailid radhiyallahu ‘anhu, putra dari bibi Rasulullah yang bernama
Shafiyah binti ‘Abdil Muthalib.
Meskipun usia Zubair masih terbilang kecil, tetapi dia telah
masuk Islam, yaitu ketika dia masih berada di Makkah. Saat itu usianya masih
delapan tahun. Akan tetapi, iman tidak membedakan antara anak kecil dan orang
dewasa, karena iman hanya akan masuk ke dalam hati yang suci dan bersih.
Seperti yang biasa terjadi di Makkah, dimana seseorang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan merasakan berbagai macam siksaan dan
penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke dalam “api” siksaan yang pedih itu.
Ketika paman Zubair mengetahui keislaman Zubair, sang paman pun memasukkan
tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari dedaunan, lalu menyalakan
api di bawah gulungan tikar tersebut hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal
ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan
tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina
di dalam “surga” iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun
terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman
telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai
penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka
suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu.
Dia berkata, “ Demi Allah , aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran
untuk selama-lamanya.”
Zubair tetap bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya,
sehingga siksaan dari orang-orang musyrik yang ditujukan kepadanya semakin
hebat. Karenanya, ketika kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, Zubair pun ikut
berhijrah kesana sebanyak dua kali. Akan tetapi, dia tidak kuat berada jauh
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerinduannya kepada beliau semakin dahsyat, maka dia pun kembali ke Makkah agar
bisa merasakan beratnya penderitaan dan cobaan di Makkah bersama Rasulullah .
Zubair kemudian berhijrah bersama kaum muslimin ke Madinah
dengan tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah melawan
pasukan kemusyrikan dan kekafiran.
Kaum muslimin berjumah 317 orang keluar menuju ke arah Badar
untuk bertempur melawan pasukan kaum musyrikin dalam sebuah peperangan
yang terbesar dalam Islam. Jumlah kaum musyrikin pada saat itu adalah 1000
orang. Dengan demikian, setiap pejuang dari kaum muslimin harus berhadapan
dengan tiga orang dari pasukan kaum musyrikin. Akan tetapi, kekuatan seorang
laki-laki dari kaum muslimin pada saat itu sama dengan kekuatan seribu orang
pasukan berkuda.
Saai itu Zubair radhiyallahu ‘anhu mengenakan mantel berwarna
kuning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan
Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah mengetahui keberanian dan
kekuatan Zubair. Pada hari terjadinya perang Badar ini, Zubair telah di uji
oleh Allah dengan ujian yang baik.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
orang seperti Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya, “Perangilah mereka, wahai Zubair!”
Orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.”
Rasulullah pun akhirnya tahu bahwa orang itu merupakan
salah satu malaikat yang telah diturunkan oleh Allah dalam sosok Zubair
radhiyallahu ‘anhu. Sementara pada hari terjadinya perang Uhud, Zubair termasuk
salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu dia berusaha
membela beliau dari serangan kaum musyrikin. Selanjutnya, setelah terjadinya
perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berjalan membuntuti
pasukan kaum musyrikin dengan tujuan mengusir mereka. Kaum musyrikin pun merasa
takut, lalu mereka segera kembali ke Makkah, ketika mereka melihat Zubair,
seorang pasukan berkuda yang terkenal di Makkah dan seorang tentara Islam.
Adapun pada perang Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk.
Bahkan setiap orang diantara mereka tidak bisa masuk ke toilet karena
pengepungan yang dilakukan terhadap mereka sangat ketat, sehingga mereka takut
terbunuh. Kondisi semakin memburuk ketika kaum Yahudi Bani Quraidhah
mengingkari perjanjian mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk masuk ke Madinah.
Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru
kepada kaum muslimin, “Siapa yang akan pergi ke Bani Quraidhah untuk
memerangi mereka?”
Melihat situasi yang menakutkan ini, tidak ada seorang pun dari
kaum muslimin yang mau keluar untuk memerangi mereka. Saat itu Zubair berdiri,
lalu berkata, “Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah !”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi
seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
, “Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari
(pengikut setia) dan Hawariku adalah Zubair.”
Sejak hari itu Zubair pun menjadi hawari (pengikut setia)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zubair keluar untuk memerangi Bani Quraidhah. Saat itu Zubair
mengetahui bahwa ibunya, Shafiyyah, telah membunuh seorang laki-laki Yahudi
yang memata-matai kaum muslimin dari kalangan wanita. Demikianlah, sang anak
dan ibunya sama-sama berjuang untuk memberikan pengabdian kepada agama Allah.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
tampuk kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dan
setelah itu diteruskan oleh ‘Umar bin Khaththab. Pada masa-masa itu Zubair
radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang tentara Islam yang kuat yang selalu
berdiri di barisan terdepan dengan harapan agar negeri-negeri yang musyrik
dapat di taklukan, lalu para penduduknya pun mau masuk Islam dan selamat dari
“api” kekufuran.
Zubair pergi sambil menghunuskan pedangnya. Dia dapat
mengalahkan kaum musyrikin dan menaklukan sejumlah negeri, lalu para penduduk
di negeri-negeri tersebut pun masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong.
Saat menaklukan sejumlah negeri itu, Zubair teringat akan hari
terjadinya perang melawan Bani Quraidhah, maka dia pun berteriak sambil
berkata, “Ini adalah hari seperti hari (keberuntungan) Hamzah, dimana (saat
itu) dia telah naik ke atas benteng dengan ditemani oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
lalu mereka berdua pun berhasil membuka benteng-benteng kaum Yahudi.”
Peristiwa gugurnya Hamzah bin ‘Abdul Muthalib yang merupakan
paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari
pihak ayah), singa Allah dan rasul-Nya, serta paman Zubair (dari pihak ibu),
masih terus teringat dalam ingatan Zubair hingga Zubair meninggal dunia. Ketika
dia memasuki medan peperangan, dia teringat akan sosok Hamzah yang sedang
berperang melawan orang-orang musyrik seperti seekor singa yang perkasa.
Pada perang Yarmuk yang dilakukan guna menaklukan negeri Syam,
teriakan Zubair memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan satu rombongan
pasukan, hingga musuh-musuh Allah yang ada di hadapannya pun mengalami
kekalahan dan lari terbirit-birit seperti larinya tikus-tikus yang ketakutan.
Diantara hal baik yang diterima oleh Zubair radhiyallahu ‘anhu
adalah bahwa dirinya termasuk ke dalam rombongan pasukan yang di pimpin oleh
‘Amr bin ‘Ash yang datang ke Mesir guna menaklukan negeri tersebut dan
memasukkan agama Islam ke dalamnya.
Ketika sampai di depan benteng Babilonia, kaum muslimin
berhenti. Usaha mereka guna menjebol benteng yang kokoh ini hampir habis,
padahal mereka belum bisa menaklukkannya. Pengepungan terhadap benteng tersebut
dilakukan selama berbulan-bulan, hingga Zubair memperlihatkan suatu tindakan
yang menarik yang menunjukkan sikap kepahlawanannya.
Zubair berkata kepada kaum mukminin, “Sesungguhnya
aku mempersembahkan jiwaku ini untuk Allah. Aku berharap agar Allah menaklukan
benteng itu untuk kaum muslimin.”
Zubair meletakkan sebuah tangga ke dinding benteng tersebut,
lalu dia naik ke atasnya. Sebelum naik, dia berpesan kepada rekan-rekannya, “Jika kalian mendengar bacaan takbirku, maka bertakbirlah kalian!”
Zubair pun menaiki tangga yang sudah diletakkan di dinding
benteng, lalu kaum muslimin pun mengikuti jejaknya. Ketika Zubair mengucapkan
takbir, kaum muslimin yang berada di belakangnya juga ikut mengucapkan takbir.
Hal ini menyebabkan rasa takut mulai merasuk ke dalam hati pasukan Romawi. Maka
mereka pun meninggalkan benteng tersebut. Akhirnya, Zubair radhiyallahu ‘anhu
berhasil menaklukan benteng itu seorang diri. Setelah itu, seluruh wilayah
Mesir pun berhasil ditaklukan satu per satu.
Kaum muslimin telah mengetahui betapa besarnya pengorbanan dan
perjuangan Zubair. Bahkan salah seorang dari kaum muslimin pernah
berkata, “Sungguh aku telah melihat dada Zubair, dan sungguh pada dadanya
itu terdapat goresan-goresan akibat sabetan pedang dan tusukan tombak yang
menyerupai aliran-aliran air.
5. Profil Sa’ad bin Abi Waqosh
Lelaki
penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah
larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari
tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam
dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah,
keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang
demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang
terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita
menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah
penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash
melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin
Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.
sejak ia
bermimpi yang demikian itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi.
Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang
baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang
aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah
gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan
ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad
lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan
taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan
kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya
Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang
telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan
berbagai pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti
dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati
ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah
merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak
yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka
ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan
bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata
dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad
pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw,
turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad
bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi.
Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin.
Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi
Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya
dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah
dikabulkan. Apabila Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah
akan mengabulkan doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang
datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi
Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada
orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam
peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang
kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah
dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan
yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah saw
dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi Saw, dalam perang Uhud
:”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu”. Sa’ad bin Abi
Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran
0 komentar:
Posting Komentar