Sahabat Rasulullah SAW


Share on :
1. Profil abu bakar ash shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anha adalah seorang khalifah besar pengganti Rasulullah, manusia paling mulia dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah Panglima besar yang berhasil menundukkan kekuatan dan kecongkakan negara super power Romawi. Dialah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.
Ibunya menjelaskan, suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Abu Bakar lalu menjulukinya ‘atiiqullah minan nar, orang yang dibebaskan Allah dari api neraka. Ibunya bernama Ummul Khair As-Sahmi binti Shakhr bin ‘Amir, wafat dalam keadaan memeluk Islam.
Secara fisik ia seorang yang berbadan kurus, berdahi menonjol, berpundak sempit, berwajah cekung dan pinggang kecil.
Di saat semua orang meragukan dan mendustakan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampaikan, dia seorang diri membenarkannya. Beliau rela merobek habis robekan demi robekan bajunya untuk menyumbat setiap lubang yang ada di dalam gua di malam hari karena takut binatang penyengat yang bersembunyi di dalamnya keluar mengganggu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika orang-orang musyrik mengepung keduanya. Pagi harinya, Rasulullah menanyakan di mana pakaiannya. Setelah tahu apa yang terjadi, Rasulullah mendoakannya menjadi orang yang mempunyai derajat tinggi di jannah.
Beliau memiliki beberapa anak dari perkawinan dengan Qutaibah dihasilkan Abdullah yang ikut perang di Thaif dan Asma’, istri Az-Zubair. Qutaibah kemudian dicerai dan wafat pada usia 100 tahun. Perkawinannya dengan Ummu Ruman melahirkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (istri Rasulullah) dan Abdurrahman. Sebelum masuk Islam, Abdurrahman masuk dalam barisan kaum musyrikin yang memerangi Rasulullah. Namun dalam perang Badr ia baru masuk Islam.
Dari istrinya yang lain yang bernama Asma’ binti ‘Umais melahirkan Muhammad dan dari Habibah binti Kharijah bin Zaid melahirkan Ummu Kultsum Raadhiyallahu ‘Anha yang dinikahi shahabat Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘Anhu.
Beliau seorang khalifah yang adil, tidak bergaya hidup mewah dan rendah hati. Tak lama setelah diangkat jadi khalifah ia berkata, bahwa ia bukanlah orang yang terbaik, memerintah rakyatnya mengikuti syariat dan tidak mengadakan bid’ah. Bila ia baik minta diikuti dan bila menyimpang ia minta diluruskan.
Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma mengabarkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu sakit karena wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga menyebabkan kematiannya. Ahli sejarah menulis Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu wafat antara waktu Maghrib dan ‘Isya pada hari Rabu bulan Rabi’ul Awwal tahun 13 H, dalam usia 63 tahun. Wallahu a’lam.

2. Profil Abu Hurairah

Nama lahir Abu Hurairah adalah Abdu Syams atau Hamba Matahari dan karena sejak kecil memiliki kucing maka namanya terkenal menjadi Abu Hurairah atau Bapak Kucing dan ketika masuk Islam Rosululloh SAW menamai beliau Abdurrahman atau Hamba Allah Yang Maha Pengasih.
Abu Hurairah memeluk agama Islam melalui Thufail bin Amr Ad Dausy pemimpin dari sukunya yaitu Banu Daws dari Tihama. Ibunya Maymouna Bint Subaih tidak mau masuk Islam sehingga Abu Hurairah mengadu kepada Rosululloh SAW bahwa beliau tidak bosannya mengajak ibunya memeluk Islam, namun ibunya selalu menolak. Abu Hurairah memohon doa kepada Rosululloh,"Tolong do'akan, ya Rosululloh, semoga ibuku masuk Islam". Dan tak berapa lama Abu Hurairah kaget ketika suatu hari ibunya mengatakan,"Asyhadu an laa ilaaha illallah wa
asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh". Abu Hurairah dikenal memiliki ingatan yang tajam dan hal ini karena pernah didoakan oleh Rosulloh SAW sehingga beliau banyak meriwayatkan hadits nabi SAW.
"Diceritakan Abu Huraira: Aku berkata, 'Ya Rasul Allah, aku mendengar banyak cerita dari anda tapi saya lupa semua"  Rosulloh SAW  berkata,' bentangkan kain penutup Anda. "Saya menyebar lembar saya dan beliau pindah kedua tangan seolah meraup sesuatu dan dikosongkan mereka dalam lembaran dan berkata, "Bungkus." saya membungkusnya keseluruh tubuh saya, dan sejak itu saya tidak pernah melupakan satu lembar hadist. "
Abu Hurairah meninggal pada usia 78 tahun dan dikuburkan di Jannatul Baqi' atau taman surga sebuah, pemakaman di Madina, Saudi Arabia sebelah tenggara Masjid al-Nabawi.

3. Profil Thalhah bin Ubaidillah

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa.
Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya hingga akhir hidupnya ia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah masuk Islam melalui anak pamannya, Abu Bakar Assiddiq ra.
Dengan disertai Abu Bakar Assiddiq, Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah berhasil berjumpa dengan Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq, Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Riwayat hidup Thalhah merupakan hembusan angin yang harum dalam rangkaian sejarah yang agung penuh keteladanan.
Thalhah adalah seorang lelaki yang gagah berani, tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam ujian lainnya. Ia orang yang kokoh dalam mempertahankan pendirian meskipun ketika di jaman jahiliyah.
Thalhah WAFAT
Sewaktu terjadi pertempuran “Al Jamal”, Thalhah bertemu dengan Ali ra. Ali memperingatkannya agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalamm ia wafat.
Thalhah wafat pada usia 60 tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Rasulullah SAW pernah berkata pada para sahabat ra. “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah.”
Hal ini juga dikatakan Allah dalam firman-Nya: “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab : 23)
Nasib agama kita akan membaik bila kita menempuhnya dengan cara yang ditempuh para pendahulu kita, sebagaimana yang Allah firmankan: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qoof : 37)


4. Profil Zubair bin Awwam

Ketika Zubair bin Awwam sedang berada di rumahnya di Makkah, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan yang berbunyi, “Muhammad bin ‘Abdullah telah terbunuh!” Mendengar itu, Zubair pun keluar dalam keadaan telanjang dan tidak mengenakan sesuatu pun yang menutupi tubuhnya. Dia keluar sambil memegang pedangnya guna mencari orang yang telah membunuh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia ingin membunuh orang tersebut.
Namun betapa bahagia hatinya tatkala dia menemukan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dalam keadaan hidup dan tidak terluka sedikitpun Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa heran dengan kondisi Zubair yang telanjang itu, maka beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Zubair?”

Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
Sembari tersenyum Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu apa yang akan kamu perbuat, wahai Zubair ?”
Zubair menjawab, “Aku akan membunuh semua penduduk Makkah (maksudnya orang-orang kafir ).”
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa gembira mendengar hal itu, lalu beliau berdoa agar Zubair mendapatkan kebaikan dan pedangnya mendapatkan kemenangan.
Pedang Zubair ini merupakan pedang yang pertama kali dihunuskan dalam rangka berjuang di jalan Allah. Sementara tentara Islam pertama yang berjuang di jalan Allah  adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid radhiyallahu ‘anhu, putra dari bibi Rasulullah  yang bernama Shafiyah binti ‘Abdil Muthalib.
Meskipun usia Zubair masih terbilang kecil, tetapi dia telah masuk Islam, yaitu ketika dia masih berada di Makkah. Saat itu usianya masih delapan tahun. Akan tetapi, iman tidak membedakan antara anak kecil dan orang dewasa, karena iman hanya akan masuk ke dalam hati yang suci dan bersih.
Seperti yang biasa terjadi di Makkah, dimana seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan merasakan berbagai macam siksaan dan penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke dalam “api” siksaan yang pedih itu. Ketika paman Zubair mengetahui keislaman Zubair, sang paman pun memasukkan tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari dedaunan, lalu menyalakan api di bawah gulungan tikar tersebut hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina di dalam “surga” iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu. Dia berkata, “ Demi Allah , aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya.”
Zubair tetap bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya, sehingga siksaan dari orang-orang musyrik yang ditujukan kepadanya semakin hebat. Karenanya, ketika kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, Zubair pun ikut berhijrah kesana sebanyak dua kali. Akan tetapi, dia tidak kuat berada jauh dari Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerinduannya kepada beliau semakin dahsyat, maka dia pun kembali ke Makkah agar bisa merasakan beratnya penderitaan dan cobaan di Makkah bersama Rasulullah .
Zubair kemudian berhijrah bersama kaum muslimin ke Madinah dengan tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah  melawan pasukan kemusyrikan dan kekafiran.
Kaum muslimin berjumah 317 orang keluar menuju ke arah Badar untuk bertempur melawan pasukan kaum musyrikin dalam sebuah peperangan  yang terbesar dalam Islam. Jumlah kaum musyrikin pada saat itu adalah 1000 orang. Dengan demikian, setiap pejuang dari kaum muslimin harus berhadapan dengan tiga orang dari pasukan kaum musyrikin. Akan tetapi, kekuatan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada saat itu sama dengan kekuatan seribu orang pasukan berkuda.
Saai itu Zubair radhiyallahu ‘anhu mengenakan mantel berwarna kuning. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah mengetahui keberanian dan kekuatan Zubair. Pada hari terjadinya perang Badar ini, Zubair telah di uji oleh Allah  dengan ujian yang baik.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang seperti Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya, “Perangilah mereka, wahai Zubair!”
Orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.”
Rasulullah  pun akhirnya tahu bahwa orang itu merupakan salah satu malaikat yang telah diturunkan oleh Allah dalam sosok Zubair radhiyallahu ‘anhu. Sementara pada hari terjadinya perang Uhud, Zubair termasuk salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu dia berusaha membela beliau dari serangan kaum musyrikin. Selanjutnya, setelah terjadinya perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berjalan membuntuti pasukan kaum musyrikin dengan tujuan mengusir mereka. Kaum musyrikin pun merasa takut, lalu mereka segera kembali ke Makkah, ketika mereka melihat Zubair, seorang pasukan berkuda yang terkenal di Makkah dan seorang tentara Islam.
Adapun pada perang Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk. Bahkan setiap orang diantara mereka tidak bisa masuk ke toilet karena pengepungan yang dilakukan terhadap mereka sangat ketat, sehingga mereka takut terbunuh. Kondisi semakin memburuk ketika kaum Yahudi Bani Quraidhah mengingkari perjanjian mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk masuk ke Madinah. Karenanya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada kaum muslimin, “Siapa yang akan pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka?”
Melihat situasi yang menakutkan ini, tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mau keluar untuk memerangi mereka. Saat itu Zubair berdiri, lalu berkata, “Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah !”
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari (pengikut setia) dan Hawariku adalah Zubair.”
Sejak hari itu Zubair pun menjadi hawari (pengikut setia) Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zubair keluar untuk memerangi Bani Quraidhah. Saat itu Zubair mengetahui bahwa ibunya, Shafiyyah, telah membunuh seorang laki-laki Yahudi yang memata-matai kaum muslimin dari kalangan wanita. Demikianlah, sang anak dan ibunya sama-sama berjuang untuk memberikan pengabdian kepada agama Allah.
Setelah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tampuk kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dan setelah itu diteruskan oleh ‘Umar bin Khaththab. Pada masa-masa itu Zubair radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang tentara Islam yang kuat yang selalu berdiri di barisan terdepan dengan harapan agar negeri-negeri yang musyrik dapat di taklukan, lalu para penduduknya pun mau masuk Islam dan selamat dari “api” kekufuran.
Zubair pergi sambil menghunuskan pedangnya. Dia dapat mengalahkan kaum musyrikin dan menaklukan sejumlah negeri, lalu para penduduk di negeri-negeri tersebut pun masuk ke dalam agama Allah  secara berbondong-bondong.
Saat menaklukan sejumlah negeri itu, Zubair teringat akan hari terjadinya perang melawan Bani Quraidhah, maka dia pun berteriak sambil berkata, “Ini adalah hari seperti hari (keberuntungan) Hamzah, dimana (saat itu) dia telah naik ke atas benteng dengan ditemani oleh ‘Ali bin Abi Thalib, lalu mereka berdua pun berhasil membuka benteng-benteng kaum Yahudi.”
Peristiwa gugurnya Hamzah bin ‘Abdul Muthalib yang merupakan paman Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari pihak ayah), singa Allah dan rasul-Nya, serta paman Zubair (dari pihak ibu), masih terus teringat dalam ingatan Zubair hingga Zubair meninggal dunia. Ketika dia memasuki medan peperangan, dia teringat akan sosok Hamzah yang sedang berperang melawan orang-orang musyrik seperti seekor singa yang perkasa.
Pada perang Yarmuk yang dilakukan guna menaklukan negeri Syam, teriakan Zubair memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan satu rombongan pasukan, hingga musuh-musuh Allah  yang ada di hadapannya pun mengalami kekalahan dan lari terbirit-birit seperti larinya tikus-tikus yang ketakutan.
Diantara hal baik yang diterima oleh Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa dirinya termasuk ke dalam rombongan pasukan yang di pimpin oleh ‘Amr bin ‘Ash yang datang ke Mesir guna menaklukan negeri tersebut dan memasukkan agama Islam ke dalamnya.
Ketika sampai di depan benteng Babilonia, kaum muslimin berhenti. Usaha mereka guna menjebol benteng yang kokoh ini hampir habis, padahal mereka belum bisa menaklukkannya. Pengepungan terhadap benteng tersebut dilakukan selama berbulan-bulan, hingga Zubair memperlihatkan suatu tindakan yang menarik yang menunjukkan sikap kepahlawanannya.
Zubair berkata kepada kaum mukminin, “Sesungguhnya aku mempersembahkan jiwaku ini untuk Allah. Aku berharap agar Allah menaklukan benteng itu untuk kaum muslimin.”
Zubair meletakkan sebuah tangga ke dinding benteng tersebut, lalu dia naik ke atasnya. Sebelum naik, dia berpesan kepada rekan-rekannya, “Jika kalian mendengar bacaan takbirku, maka bertakbirlah kalian!”
Zubair pun menaiki tangga yang sudah diletakkan di dinding benteng, lalu kaum muslimin pun mengikuti jejaknya. Ketika Zubair mengucapkan takbir, kaum muslimin yang berada di belakangnya juga ikut mengucapkan takbir. Hal ini menyebabkan rasa takut mulai merasuk ke dalam hati pasukan Romawi. Maka mereka pun meninggalkan benteng tersebut. Akhirnya, Zubair radhiyallahu ‘anhu berhasil menaklukan benteng itu seorang diri. Setelah itu, seluruh wilayah Mesir pun berhasil ditaklukan satu per satu.
Kaum muslimin telah mengetahui betapa besarnya pengorbanan dan perjuangan Zubair. Bahkan salah seorang dari kaum  muslimin pernah berkata, “Sungguh aku telah melihat dada Zubair, dan sungguh pada dadanya itu terdapat goresan-goresan akibat sabetan pedang dan tusukan tombak yang menyerupai aliran-aliran air.

5. Profil Sa’ad bin Abi Waqosh

Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.
sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran


0 komentar:

Copyright 2009 selhye_zirra. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates
Efek Blog